" Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintangan untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki penuh darah penuh nanah ..."
Anda pasti tahu kelanjutan syair lagu diatas, atau setidaknya pernah mendengar lagu tersebut. Iwan Fals dengan begitu puitis namun gamblang menggambarkan beratnya kehidupan yang harus dijalani seorang ibu demi mendidik dan membesarkan buah hatinya,......... kita !
Mari hadirkan kembali wajah sang ibu dalam bayangan kita, dengan seizin Allah genangan air mata akan membanjiri kelopak mata yang mungkin sudah sekian lama kita biarkan tak menyapanya.
Kerut di pipinya mengisyaratkan kelelahan yang sangat, tenaga yang mulai habis dimakan waktu seolah tak lagi sanggup sekedar mengangkat tubuh rapuhnya.
Di bola matanya, nampak jelas guratan berat kehidupan yang telah dilaluinya. Semua itu, dilakukannya hanya untuk kita, yang dicintainya.
Cinta anak sepanjang gala, cinta ibu sepanjang masa. Pepatah yang biasa kita dengar untuk melukiskan betapa kita, anak-anak ibu, tidak akan pernah sanggup membayar (berapapun dan dengan apapun) cinta yang pernah diberikannya.
Rasa ingin membalas cinta sang ibu membuat seseorang rela ingin menggendong ibunya pulang pergi ibadah haji. Bahkan sahabat lain, dilarang pergi berperang , lantaran tidak ada yang mengurus ibunya yang sudah renta. "rawat dan layani ibumu,
" Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu/bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun..." Bahkan dalam ayat lain, begitu tegas Allah menekankan dan mengingatkan kesusahan ibu saat mengandung serta memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada ibu .
Ketika ditanya tentang siapa yang paling patut dihormati dandiperlakukan sebaik-baiknya, Nabi menjawab : "Ibumu". Dan hal itu diulangnya sampai tiga kali, sebelum ia menyebut "bapakmu".
Surga terletak dibawah telapak kaki kaum ibu. Dalam perjalanan bersama ibu, perlakuan kasar kerap kita layangkan kepadanya. "Uf", "ah," "cis" menjadi kosa kata yang biasa terlontar dari mulut kotor ini.
Tak pernah kita menghargai keringatnya kala menyiapkan sarapan dan makan malam. Andai kita tahu, air matanya tak pernah kering di pertengahan malam, kala ia mengadu kepada Allah perihal anak-anaknya.Bibirnya tak pernah berhenti berdo'a agar kita menjadi anak yang bisa dibanggakan. Tak peduli darah menjadi penghias kakinya demi menghantarkan sang buah hati menggapai cita.
Sekarang, imbalan apa yang diterima ibu dari anak-anak yang mungkin kinipun sudah beranak. Tidak jarang kesibukan kerja dan keluarga membuat kita melupakannya. Bahkan mungkin rasa cinta kepada istri dan anak-anak mengikis habis cinta kepada ibu (tentu cinta kepada Allah diatas segalanya). Tak sedikit waktu kita luangkan sekedar untuk tahu keadaannya, meski 'handphone' tak pernah lepas dari tangan. Sekarang, Kita semakin sombong, seolah tak membutuhkannya. Terlebih saat senang dan berkecukupan.
Tak sadar kita, ia begitu ikhlas atas air susu dan keringatnya. Begitu banyak masalah kehidupan kita hadapi. Terkadang kita mengeluh, putus asa, tidak tahan dengan berbagai cobaan yang menerpa.
Tak sadar, semua yang kita alami saat ini sesungguhnya pernah dilalui ibu, dan............berhasil !
Kita terlalu lemah, cengeng dan selalu merasa kalah dalam mengarungi bahtera hidup. Padahal sering kita memandang sebelah mata 'kekuatan' ibu yang sudah renta.
Tak sadar kita, garis wajahnya jelas-jelas memancarkan kekuatan teramat dahsyat. Ia hanya ingin melihat anak-anaknya bahagia, meski ia tidak sebahagia yang kita bayangkan.
Tak sadar, sesungguhnya kita butuh kembali kepadanya, memandangi keteduhan wajahnya, membelai tangan keriputnya, menciumi kakinya dan meminta do'anya...........
Ingin ku dekat dan menangis dipangkuanmu............
Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu.........
Lalu do'a-do'a baluri sekujur tubuhku..........
Dengan apa membalas, Ibu...........
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar